Berdasarkan hasil evaluasi, sebanyak 108 Badan Uji Laboratorium Nasional (BULN) telah mendapat pengakuan yang diteruskan. Pengakuan ini diberikan kepada BULN yang telah memenuhi semua persyaratan dan kewajiban, serta Laporan Hasil Uji (LHU) mereka telah digunakan untuk keperluan sertifikasi sejak penetapan Kepdirjen 11/2021.
Di sisi lain, sebanyak 13 BULN tidak mendapat pengakuan yang diteruskan. Hal ini disebabkan karena LHU mereka tidak pernah digunakan dalam proses sertifikasi sejak penetapan Kepdirjen 11/2021 hingga saat ini. Ditambah lagi, Direktorat Jenderal SDPPI tidak dapat memastikan pemeliharaan kompetensi pengujian BULN yang bersangkutan.
Selain itu, terdapat 6 BULN yang telah dihapus namun digabungkan dengan BULN lain dalam pencatatannya. Hal ini merupakan bagian dari hasil evaluasi terhadap BULN yang dilakukan oleh otoritas terkait.
Kepdirjen SDPPI No 109 Tahun 2024 telah menetapkan prosedur pengakuan sementara bagi Balai Uji Luar Negeri (BULN) yang bertujuan untuk mendukung proses sertifikasi alat telekomunikasi dan perangkat telekomunikasi di Indonesia.
Pengakuan ini dibagi menjadi tiga kategori utama, dengan persyaratan dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh BULN yang bersangkutan.
Dalam kategori umum, pengakuan sepihak (unilateral) BULN diberlakukan dengan batas waktu hingga 31 Desember 2024. BULN yang ingin melakukan sub-kontrak pengujian hanya dapat diterima jika subkontrak tersebut dilakukan ke BULN yang juga terdaftar dalam daftar yang ditetapkan.
Selain itu, pengawasan berkala dan sewaktu-waktu akan diterapkan, dan kebijakan ini mencabut Kepdirjen sebelumnya, yaitu Kepdirjen 11/2021.
Adapun kriteria untuk Balai Uji Luar Negeri termasuk memiliki kemampuan melakukan pengujian sesuai dengan standar teknis Indonesia, memiliki akreditasi ISO/IEC 17025 dari lembaga akreditasi yang ditandatangani APAC-MRA dan/atau ILAC-MRA, serta memiliki minimal dua bukti lainnya seperti akreditasi dari lembaga akreditasi negara lain, pengakuan dari lembaga penilaian kesesuaian internasional, atau pengakuan administrasi telekomunikasi dari negara lain.
Kewajiban yang harus dipatuhi oleh BULN antara lain meliputi melakukan pengujian sesuai dengan standar yang berlaku di Indonesia, melampirkan rangkuman referensi halaman LHU terhadap standar teknis di Indonesia yang menjadi acuan, wajib menggunakan Tanda Tangan Elektronik (TTE) pada LHU, melaporkan ke SDPPI dua bulan sebelum masa laku akreditasi berakhir, serta melaporkan setiap perubahan yang terjadi pada nama lab, alamat lab, data penanggung jawab, status hukum, dan hal lain yang dapat mempengaruhi pengujian kepada SDPPI.
Dalam menggarap kemitraan MRA (Mutual Recognition Arrangement), Indonesia mengikuti serangkaian langkah strategis yang terdiri dari beberapa tahap:
- Mitra MRA Pertama (2024): Pada tahun ini, langkah pertama yang diambil adalah penandatanganan MRA dengan Republik Korea. Selain itu, kedua pihak juga saling mengevaluasi calon laboratorium uji yang akan diakui dalam MRA. Diskusi awal juga dimulai dengan calon mitra MRA lainnya.
- Mitra MRA Kedua (2025): Pada tahun berikutnya, pengakuan Badan Uji Laboratorium Nasional (BULN) Korea dilakukan dalam kerangka MRA. Selanjutnya, penandatanganan MRA dengan mitra MRA lainnya dilakukan, disertai dengan evaluasi calon laboratorium uji yang akan diakui dalam MRA. Sementara itu, diskusi awal juga tetap berlangsung dengan calon mitra MRA lainnya.
- Mitra MRA Ketiga (2026): Pada tahun ini, fokus utamanya adalah pada pengakuan BULN dari mitra MRA, disertai dengan penandatanganan MRA dengan mitra MRA lainnya. Saling evaluasi calon laboratorium uji yang akan diakui dalam MRA tetap berlanjut, bersamaan dengan diskusi awal dengan calon mitra MRA lainnya. Perlu dicatat bahwa pada tanggal 31 Desember 2026, pengakuan BULN secara sepihak berakhir.
- Mitra MRA Keempat (2027): Tahun ini ditandai dengan pengakuan BULN dari mitra MRA, dilanjutkan dengan penandatanganan MRA dengan mitra MRA lainnya. Proses evaluasi calon laboratorium uji yang akan diakui dalam MRA tetap berlangsung, sambil menekankan bahwa pengakuan BULN hanya dapat dilakukan melalui MRA. Evaluasi dampak kebijakan MRA juga menjadi bagian penting dari langkah-langkah yang diambil pada tahap ini.
Penerapan Kepdirjen SDPPI No 109/2024 memiliki dampak signifikan pada proses pengujian perangkat elektronik di Indonesia. Berdasarkan regulasi ini, Laporan Hasil Uji (LHU) harus diterbitkan atau diuji di laboratorium yang terdaftar, tanpa memperhatikan tanggal terbitnya.
Selain itu, lokasi pengujian dan ruang lingkup pengujian harus sesuai dengan daftar laboratorium yang ditentukan. Meskipun demikian, pengujian subkontraktor tetap diperbolehkan asalkan laboratorium subkontraktor tersebut tercantum dalam daftar laboratorium yang diakui.
Regulasi ini juga melarang pengujian lapangan, seperti di pabrik pembuat perangkat. Selain itu, LHU wajib diterbitkan dengan Tanda Tangan Elektronik (TTE). Pengujian antarmuka non-radio dan pengujian keselamatan laser harus dilakukan di Badan Uji Daerah Nasional (BUDN).
Selain itu, peraturan ini juga menyebutkan bahwa terdapat beberapa perubahan nama dan/atau alamat laboratorium yang terdaftar, sehingga pihak yang terlibat dalam proses pengujian perangkat elektronik diharapkan untuk memperhatikan perubahan tersebut.
0 Comments